Komite I DPD RI Minta Pilkada 2020 Ditunda, Ini Alasannya Komite I DPD RI Minta Pilkada 2020 Ditunda, Ini Alasannya - Media Independen

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Komite I DPD RI Minta Pilkada 2020 Ditunda, Ini Alasannya

14 September 2020 | 23:50 WIB Last Updated 2020-09-14T15:50:28Z

 

Wakil Ketua Komite I DPD RI Ir H Djafar Alkatiri (Foto : Istimewa)

INDIMANADO.COM - Dalam Sidang Paripurna yang digelar oleh Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) memutuskan meminta agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 ditunda. Hal tersebut menurut Wakil Ketua Komite I DPD RI Ir H Djafar Alkatiri merupakan keputusan bersama dengan bebagai alasan. 


Pertama yang menjadi alasan bahwa UU Pemilukada serentak saat ini yang keempat dan merupakan gelombang pemilukada terbesar keempat karena dilaksanakan di 270 daerah,  37 kota 9 propinsi dan 224 kabupaten.


"Artinya bahwa ini juga melibatkan 105 juta pemilih, sehingga kekhawatiran kita akan timbul kluster baru, karena setiap TPS 500 orang pemilih," ujar Senator DPD RI asal Sulawesi Utara itu, Senin (14/9/2020)


Pertimbangan yang kedua menurut Djafar adalah Undang-undang di Indonesia tidak acceptable dengan protokol Covid-19, berbeda dengan Korea Selatan yang hanya memiliki 26% atau sekira 11 juta pemilih.


"Dan mereka undang-undangnya sudah acceptable dengan protokol Covid-19. Disana sudah e-voting, bisa email, kita belum, jadi pemilukada kita tahun ini 2020 masih menggunakan undang-undang sama dengan pemilukada 2019, karena itulah sangat berbahaya," terang Djafar.


Yang ketiga menurut Djafar,  dari hasil survey oleh seluruh lembaga survey kepada masyarakat apakah pemilukada perlu ditunda atau tidak, maka semua hasil survey menunjukan diatas 70% menolak bahkan ada yang sempat 90% di daerah itu menolak untuk dilaksanakan pemilukada serentak di Desember 2020. 


"Kemudian ini kan sudah epidemi global Covid-19, nah yang berikut adalah tentu WHO juga sudah menyatakan ini sudah epidemi global, sehingga memang harus ada penanganan khusus. UU pilkada itu mengatakan bahwa apa bila di daerah itu ada wabah atau musibah non alami maka pilkada itu bisa ditunda pada waktu berikutnya, artinya bahwa UU ini kita pakai dengan landasan bahwa hari ini Covid-19 makin meningkat di Indonesia, dan karena merupakan epidemi global, ya Indonesia harus mengikuti," jelas Djafar.


Apalagi sekarang ini Indonesia justru menjadi bulan-bulanan, dimana 59 negara di dunia ini menolak kedatangan warga indonesia, artinya bahwa Indonesia tidak mampu menangani dengan baik, dengan optimal penyebaran Covid-19.


Karena itulah dengan sekarang ini epidemi makin meningkat bahkan naiknya setiap hari lebih dari 10%,  naik 200% maka tentu kita harus lebih memperhatikan kesehatan masyarakat, kepentingan masyarakat, dari pada sekedar menyelesaikan proyek pemilukada ini yang barangkali masih bisa ditangani dengan aturan-aturan lain. 


"Dan karena itulah kami berharap bahwa pemerintah juga turut menyetujui bahwa supaya pemilukada ini bisa ditunda. Saya kira kita lebih mementingakan kepentingan masyarakat. Jadi kepentingan masyarakat diatas segala-galanya dari pada kepentingan orang per orang. Saya kira kita bisa lakukan pooling, ambil LSI lakukan pooling di daerah yang melakukan pilkada pasti masyarakatnya menolak," kata Djafar


Inilah yang menurut Djafar membuat DPD RI memutuskan setelah menerima masukan, mengkaji, menganalisa, menerima masukan dari perguruan tinggi, dari berbagai pengamat, pemikir, pakar dan tentu pengalaman dari anggota-anggota DPD sehingga kemudian memutuskan untuk meminta pemerintah untuk menunda ini.


"Sebab ini proyeknya besar, anggaran cukup besar hampir  30 Triliun, besar sekali, karena itulah ini tidak boleh main-main, alasan terakhir, kita berharap pemilukada harus serentak," ucapnya


Alasan yang terakhir kenapa pemilukasa harus ditunda adalah yakni dimana kita berharap pemilukada itu berkualitas, undang-undang pemilu itu dibuat dalam rangka good governance dan supaya pemilu itu berkualitas, nah bagaimana mau berkualitas sementara tahapan prosesnya berlangsung tidak efektif karena semua kebanyakan zoom meeting, hanya beberapa momentum saja, apalagi sekarang Covid-19 semakin meningkat ya kita kembali ke PSBB, sehingga kampanyenya tidak bisa dikontrol oleh masyarakat, kemudian sosialisasinya juga tidak bisa efektif karena hanya ditempat, desa atau daerah yang punya signal.


"Sementara kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, di Indonesia ini ada 12.548 desa yang tidak terakses internet, bagaimana sosialisasinya disana, bagaimana cara masyarakat datang ke TPS. Saya khawatir jika masyarakat pemilih datang ke TPS itu kurang dari 50%, maka otomatis ini gagal pemilunya, terus kita buang anggaran begitu besar, luar biasa sementara kita mendapatkan pemilu yang tidak berkualitas, pemilu yang tahapan-tahapannya tidak optimal, pemilu yang sama dengan 2019," urainya.


Oleh karena itu, Djafar berharap kiranya pemerintah harus rasional, KPU harus rasional, jangan hanya sekedar untuk menyelesaikan proyek demokrasi yang anggarannya cukup besar, juga jangan untuk kepentingan-kepentingan kekuatan tertentu, tapi kita berharap betul-betul pemerintah, DPR dan DPD memikirkan tentang nasib bangsa, nasib warganya yang hari ini lebih fokus untuk menyelesaikan epidemi Covid-19 ini.


"Kita belum bebas, semakin hari ini semakin bertambah. Kemarin Eric Thohir mengatakan bahwa kemungkinan kita akan pecah diakhir Desember bisa 500 ribu. Dalam konteks inilah kami berharap mudah-mudahan ini bisa dipikirkan bersama artinya ketika ditunda tidak lagi mengulangi tahapan, tapi kita melanjutkan saja," pungkasnya.


(Ss)

CLOSE ADS
CLOSE ADS
close