INDIMANADO.COM
- Gubernur Sulawesi Utara (Sulut), Olly Dondokambey berhasil melobi pemerintah
pusat agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) produk pertanian sebesar 10 persen
dapat diturunkan sehingga tidak memberatkan petani.
Orang
nomor satu di Sulut ini meminta penangguhan pengenaan PPN hasil pertanian dan
perkebunan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 70P/Hum/2013 dan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE24/PJ/2014.
Menurut
Olly, beberapa waktu lalu, Pemprov Sulut menerima kedatangan sejumlah
masyarakat petani cengkih, kelapa dan petani yang tergabung dalam forum
asosiasi petani kelapa dan komoditas pertanian Sulut.
Dalam
pertemuan ini, kata Olly, para petani menyampaikan aspirasi dan keluhan kepada
pemerintah yang berkaitan dengan pengenaan PPN terhadap komoditas hasil
pertanian, perkebunan dan kehutanan yang dapat menyusahkan petani.
“Pengenaan
PPN hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan tersebut karena adanya Keputusan
Mahkamah Agung dan Surat Edaran Dirjen Pajak pada dasarnya tidak membantu
petani malah membuat kelesuan ekonomi kerakyatan petani di Sulut,” kata Olly.
Olly
mengatakan bahwa Pemprov Sulut sangat memahami keluhan para petani tersebut
karena sebagian besar hasil komoditas pertanian Sulut berasal dari masyarakat
petani yang mengolah lahan pertanian milik sendiri (bukan lahan milik
perkebunan besar). Disamping itu sebagian besar petani sangat menggantungkan
kehidupannya pada komoditas pertanian dan perkebunan di daerah.
Akhirnya,
Kementerian Keuangan menerbitkan beleid baru yang mengatur nilai lain sebagai
dasar pengenaan pajak (DPP) dalam pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).
Beleid
yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89/PMK.010/2020.
Dalam beleid itu, otoritas fiskal mengatur secara khusus nilai lain sebagai DPP
dalam pengenaan PPN atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu.
“Untuk
lebih menjamin rasa keadilan atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu,
perlu mengatur secara tersendiri penetapan nilai lain sebagai DPP atas
penyerahan barang hasil pertanian tertentu dalam PMK,” demikian bunyi penggalan
bagian pertimbangan PMK yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani di
Jakarta, 17 Juli 2020 dan diundangkan pada tanggal 27 Juli 2020.
Pada
bagian lampiran, diperinci penyerahan barang hasil pertanian yang bisa
menggunakan DPP nilai lain dalam pengenaan PPN antara lain 24 jenis komoditas
perkebunan mulai dari buah dan cangkang dari kelapa, cengkeh, padi, kelapa
sawit, kakao, getah karet, daun tembakau, batang tebu, hingga batang, biji,
ataupun daun dari tanaman perkebunan dan sejenisnya.
Kemudian,
terdapat 4 komoditas tanaman pangan, 3 jenis komoditas tanaman hias dan obat,
serta 10 jenis komoditas hasil hutan yang pengenaan PPN-nya juga bisa
berdasarkan pada DPP nilai lain.
Dalam
PMK ini dipertegas apabila pengusaha kena pajak (PKP) memilih untuk menggunakan
nilai lain sebagai DPP maka nilai lain yang digunakan adalah 10 persen dari
harga jual. Dengan tarif PPN sebesar 10 persen maka secara efektif besaran PPN
yang dipungut hanyalah sebesar 1 persen dari harga jual.
Produk
pertanian adalah barang kena pajak yang atas penyerahannya dari petani atau
kelompok petani dengan peredaran usaha di atas Rp 4,8 milyar kepada pembeli,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 10 persen dari harga jual.
Sebagaimana mekanisme PPN, petani dimaksud memenuhi kewajiban PPN-nya dengan
memperhitungkan seluruh pajak masukan yang sudah dibayar (misalnya pajak atas
pembelian pupuk), kemudian menyetorkan sisanya ke kas negara.
Untuk
memberikan kesederhanaan, petani dan kelompok petani dapat memilih menggunakan
nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak yaitu 10 persen dari harga jual,
sehingga tarif efektif PPN menjadi 1 persen dari harga jual (10 persen
dikalikan 10 persen dari harga jual). Berbagai barang hasil pertanian yang
dapat menggunakan nilai lain adalah barang hasil perkebunan, tanaman pangan,
tanaman hias & obat, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.
“Sekarang,
petani dapat memilih untuk menggunakan mekanisme nilai lain, atau mekanisme
normal. Untuk menggunakannya, petani hanya perlu memberitahukan kepada DJP
terkait penggunaan mekanisme nilai lain tersebut pada saat menyampaikan SPT
Masa PPN”, terang Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio
Kacaribu.
Badan
usaha industri yang membeli dari petani ditunjuk sebagai pemungut PPN 1 persen
dan tetap dapat mengkreditkan PPN tersebut sebagai pajak masukan. Pemungutan
oleh badan usaha industri ini semakin meningkatkan kemudahan bagi petani dan
kelompok petani.
Penggunaan
mekanisme nilai lain dan penunjukan badan usaha industri sebagai pemungut PPN
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89/PMK.010/2020 tentang Nilai
Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Atas Barang Hasil Pertanian Tertentu.
(**/alfa
jobel)