Tanamkan Nilai Kesetaraan Sejak Dini pada Anak Tanamkan Nilai Kesetaraan Sejak Dini pada Anak - Media Independen

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tanamkan Nilai Kesetaraan Sejak Dini pada Anak

4 July 2020 | 17:55 WIB Last Updated 2020-07-11T09:55:35Z

INDIMANADO.COM - Semua anak harus diperlakukan secara setara, baik antara anak laki-laki dan perempuan, maupun relasi anak dengan orangtuanya. Oleh karenanya, menjadi penting untuk mengajarkan nilai-nilai kesetaraan sejak usia dini (kurang dari 6 tahun) melalui pengasuhan di keluarga, karena pada saat itu merupakan masa usia emas pada anak. Selain nantinya kesetaraan akan berlaku sepanjang hayat, pengasuhan yang menerapkan kesetaraan akan mampu membangun ketahanan keluarga yang menghindarkan anak dari diskriminasi dan kekerasan.

“Sejak dini, setiap anak memainkan peran gender sesuai dengan pengalaman mereka sehari-hari, mereka belajar banyak dengan melihat apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Oleh karenanya, pembelajaran mengenai kesetaraan gender menjadi tanggung jawab orangtua di rumah. Kesetaraan dalam pengasuhan di keluarga dapat dibangun dengan adanya akses, partisipasi, dan kontrol antara suami, istri dan anak, serta manfaat yang setara,” ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin dalam Webinar Pendidikan Kesetaraan Sejak Dini dalam Pengasuhan di Keluarga yang diselenggarakan oleh Kemen PPPA pada 3 Juli 2020.

Lenny menambahkan, nilai-nilai kesetaraan dilakukan di tingkat keluarga pada saat proses pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak, bagi anak perempuan dan laki-laki, diantaranya dipenuhi hak sipilnya (akta kelahiran), mendapatkan pendidikan, didampingi dalam mengakses informasi, diberikan ruang dalam menyampaikan pendapatnya, diberikan hak berorganisasi, dan diasuh dengan kasih sayang. Keputusan keluarga akan betul-betul mewarnai kehidupan mereka karena siklus kehidupan setara berlaku sepanjang hayat.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP), Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan bahwa pengasuhan anak berbanding lurus dengan perspektif agama dalam menempatkan posisi laki-laki dan perempuan. Landasan agama pun sangat kuat mengarahkan kita untuk memberikan pengasuhan dan pemberian hak dasar yang sama bagi anak laki-laki dan perempuan. Namun, dalam penerapannya masih ada beberapa tantangan pengasuhan keluarga berkesetaraan gender berperspektif agama.

Pertama, seberapa besar anak dalam menentukan haknya. Hal ini termasuk menentukan keyakinan dan mengontrol tubuhnya. Kedua, bagaimana sinkronisasi antara agama menjadi norma sosial, serta instrumen internasional, contohnya adalah terkait usia nikah dalam Undang-Undang tentang Perkawinan. Ketiga, butuhnya perspektif yang _gender balance_ dalam memahami pengasuhan anak dalam agama.

Dalam proses pengasuhan pada anak, kita juga harus menanamkan nilai kesetaraan pada disiplin positif anak. Spesialis Perkembangan Anak ChildFund International, Fitriana Herarti mengatakan dalam membangun disiplin positif, kita harus menempatkan peran ibu sama dengan peran ayah.

“Ingat, ibu bukanlah wakil dari ayah, begitu pun sebaliknya. Baik ibu maupun ayah merupakan sosok yang memiliki kekuatan yang sama dalam proses pengasuhan. Penerapan disiplin positif juga harus bertumpu pada pembuatan aturan positif dan mengenalkan anak tentang konsekuensi dari perilakunya. Anak dan orangtua akan menentukan konsekuensi ketika ada perilaku yang dilanggar, dengan demikian sejak awal partisipasi anak telah dibangun dalam interaksi komunikasi orangtua dan anak. Hal ini dapat membuat anak mampu berpendapat dan punya hak di dalam sebuah keluarga,” tutur Fitriana.

Selain menjadi poros utama dalam memberikan pengasuhan pada anak, keluarga juga seharusnya bisa menjadi ruang yang pertama kali bisa menghindarkan anak dari kekerasan. Namun faktanya, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan bahwa kasus kekerasan terhadap anak perempuan berupa inses menjadi jumlah terbanyak, yaitu sebesar 770 kasus.

Dosen Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, Margaretha Hanita mengatakan bahwa hal ini berarti perempuan sejak usia anak sudah dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat dalam keluarga. Oleh karenanya, harus dibangun pengasuhan yang aman bagi seluruh anggota keluarganya.

“Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi pada istri, tapi juga terhadap anak. Hal tersebut karena sebagian besar pelaku kekerasan terhadap anak berada dalam lingkup keluarga, mulai dari ayah, paman, dan kakek. Oleh karenanya, penting untuk menegakkan hukum terhadap kekerasan anak dalam keluarganya. Ketika pelaku kekerasan terhadap anak berasal dari lingkup keluarga harus dilawan dan dihukum, jangan dimaklumi. Oleh karenanya, harus dibangun pengasuhan yang aman bagi seluruh anggota keluarganya,” jelas Margaretha.

(*/Subhan)

CLOSE ADS
CLOSE ADS
close